Minggu, 23 Oktober 2011

cerpen pertama " anugerah"



Pagi ini matahari bersinar dengan sinarnya yang menyinari dunia, dan muncul ke bumi dengan kuasa Tuhan, aku seorang anak remaja yang meratapi langit pagi yang cerah ini dari jendela kamarku. Aku senang sekali melakukan hal itu karena saat itu aku juga meratapi apa yang terjadi padaku.
Dulu hidupku amatlah bahagia, bak seorang Puteri di Istana, selalu disayang dan diperhatikan, apapun yang aku mau akan dipenuhi oleh orang tuaku, namun semua itu lenyaplah sudah setelah kini aku sebatang kara.
Ayah, Ibu dan Risa adikku kini telah tiada, mereka pergi setelah terjadi kecelakaan waktu mereka menuju Vila kami di Puncak, waktu itu aku tidak ikut dikarenakan ada satu perlombaan di sekolah, aku diikutsertakan sehingga aku tidak bisa pergi bersama mereka ke Vila.

Pagi itu aku duduk di ruang tamu, aku teringat akan perkataan Risa sebelum ke Vila “sukses ya kak untuk besok” kemudian Ayah, Ibu dan Risa pergi dan aku tinggal di rumah bersama Bik Rita.
Paginya aku sarapan hanya sendiri tanpa Ayah, Ibu dan Risa.Bik Ritapun tak bisa menemaniku.
Setelah sarapan, aku langsung berangkat sekolah, di sekolah aku mendapat support dari teman-temanku,mereka mendukungku untuk bisa memenangkan lomba desain busana itu.Perlombaan dimulai dengan meriah dan akhirnya, perlombaan berakhir dan semua teman-temanku berteriak karena aku mendapat Juara I. Akupun maju keatas panggung dan menerima piala, setelah itu kuambil ponselku dan dari dalam tas untuk mengabari Risa atas kemenanganku, sambil mengucapkan terima kasih pada teman-teman yang mengucapkan selamat kepadaku.

Tulisan di layar ponsel membuat mataku terbelalak,delapan puluh sembilan panggilan tidak terjawab,sebanyak itu?
Memang, aku meninggalkan ponselku di tas selama enam jam, tapi siapa saja yang menelpon ia sebanyak itu?
Perasaan tidak enak menyergapi hatiku ketika melihat seluruh panggilan itu hanya berasal dari satu nomor rumahku sendiri! Langsung ku menelpon balik, “Bik Rita kenapa?” Tanganku panik begitu ketika yang menangkat pengasuhku.
“Tuan, mbak, Nyonya sama Risa juga....mobilnya kecelakaan....mereka di rumah sakit,..” suara Bik Rita terdengar parau.
Kepalaku mendadak pening,dengan mobil Refi, temanku,....aku kembali ke rumah, aku gelisah, tapi tidak tahu harus berbuat apa.
Mobil keluargaku kecelakaan? Kenapa bisa terjadi? Bagaimana kondisi mereka.
Sampai di rumah, aku hanya melongo menatap para tetangga dan teman-teman kantor ayah berkumpul. Tatapan mereka begitu menyiratkan keprihatinan yang dalam, batinku bergejolak. Kalau Risa, Ayah dan Ibu kecelakaan, kenapa mereka memasang wajah seperti itu? Seberapa parah yang dialami keluargaku?
Begitu aku datang, Bik Rita memelukku dan menangis, aku berusaha melepaskan diri dari pelukan. “Bagaimana keadaan mereka Bik?.
“Tuan, Nyonya, dan Risa...”
“Jenazah mereka rusak dan masih di Rumah Sakit,”,,,
mendadak tidak ada lagi yang kuingat selain seruan orang-orang ketika ku jatuh, semua gelap dalam sekejap.
Ketika jenazah mereka datang dan langsung dikuburkan aku menitikkan air mata ketika jenazah Risa dimasukkan ke dalam liang kubur, air mataku yang akan banyak berlinang di tahan ketika dua orang menimbun kembali, aku merasakan pegangan dan sentuhan orang-orang yang berdiri didekatku untuk menguatkanku.
Orang yang datang adalah teman-teman keluargaku tidak ada sanak famili karena kami tinggal di tempat yang jauh. Bahkan setahuku Ibu juga sebatang kara seperti Ayah, karena itu mereka saling menguatkan dalam menapaki hidup. Dan kini....aku juga sebatang kara.
Satu persatu tamu pulang selesai pemakaman rumahku mendadak terasa suram dan dingin karena diliputi suasana sedih kamar menjadi tempatku merenung dan menangis.
“Ayah, Ibu, Aku pasti sangat rindu...”
Lalu pintu kamarku diketuk, Bik Rita memanggil dari luar.
“Mbak Sita, masih ada tamu di depan. Teman Kantor Tuan mingkin.”
Dengan langkah lesu akupun menemui tamunya. Alangkah kaget aku melihat siapa sang tamu.
Seorang laki-laki gemuk yang seumuran dengan ayah menurut penaksiranku, jalan mandar-mandir di ruang tamu, seorang wanita di sampingnya berdandan menor dan rambutnya di jepit jepitan emas, lalu seorang laki-laki muda kira-kira berumur 19 tahun.
Mereka semua memakai baju hitam. Tapi tidak ada raut ‘duka cita’ di wajah ketiga orang itu.
“Selamat sore, hmm, Bapak siapa?” tanyaku sopan sambil berusaha menghilangkan rasa takut.
Laki-laki itu mengulurkan tangan, “saya Arman Azwar, itu istri saya Nyonya Mira dan anak saya Kevin, dia berusaha tersenyum tetapi untukku itu cengiran yang menyeramkan.
“Panas sekali sih Pak. Ruang tamu kok tidak dipasang AC seperti ‘di rumah kita’, kata nyonya Mira mengerutu dan sibuk mengipas.
“Azwar?” tanyaku heran. Kenapa laki-laki ini punya nama yang sama dengan keluargaku?
“Kenapa? Saya adik Bapakmu!”
“Maaf Om, Ayah tidak pernah cerita kalau ia punya adik setahu saya dia anak tunggal”
“Apa? Tidak.....saya ini saudaranya...”
Kalau begitu kenapa Anda baru muncul sekarang dan mengaku sebagai Adik Ayah?”
Laki-laki itu mendekatiku dan tertawa sinis dan berbicara seenaknya tanpa henti, sementara Bik Rita masuk membawa nampan berisi teh.
“Ni orang bodoh, tidak ngerasa apa udara panas gini, jangan kasih kita teh panas dong. Ada sirup tidak?”
Bik Rita menatap diam dan aku tidak kalah terkejut melihak sikap kasar wanita itu. Arman Azwar tidak menghiraukan mereka dan terus berbicara.
“Keluarga Saya dari Bandung kita akan tinggal dulu disini.”
Lalu mereka masuk begitu saja tanpa bisa dicegah lagi.
Dan aku memandangi Kevin yang dari tadi hanya diam, hanya saja dia menatapku dengan pandangan nakal, aku merasa risih dipandangi seperti itu.
“Hmmm, Sita, Sita Azwar, nama yang bagus, sebagus orangnya, temani aku melihat rumahmu yang mewah ini. Lain kali kita bisa bersenang-senang berdua”.
Kevin meraba bahuku namun aku mengelak.
“Maaf, aku tidak bisa...”
Dia memandangku sinis dan masuk ke dalam.
Sejak saat itu, rumah seperti neraka bagiku semua yang dilakukan salah, sampai akhirnya Bik Rita melakukan satu kesalahan dan Bu Mira mengusirnya.
Aku sedih, dan aku takut, jika Bik Rita pergi lalu aku gimana?
Lalu Bik Rita memintaku untuk ikut dengannya dan karena aku tak tahan lagi, aku pergi dari rumah, aku meninggalkan segala kemewahan itu.
Kamipun pergi….
Bik Rita membawaku ke sebuah Panti Asuhan, yaitu Panti Asuhan Bunda, tempat ku berada sekarang.
Dan disinilah aku hidup sekarang, walau hidupku tak seperti dulu lagi, tapi aku bahagia, hidupku tidak dikekang oleh orang lain, disini aku punya banyak Saudara, meski bukan saudara kandung, namun kami selalu mendukung satu sama lain, saling mengisi, saling bantu dalam hal apapun.
Namun walau sekarang aku sudah tidak di rumah ku lagi, namun untuk sekolah aku tidak mau pindah, dan disini awal dari perjuanganku, aku akan melakukan apa saja untuk sekolah, apapun, yang penting aku tetap sekolah dan meraih yang terbaik.
Suatu malam yang dingin, tak ada bulan ataupun bintang yang tampak, aku merasa sangat letih setelah tadi siang sekolah, lalu bantu Ibu Panti dan Bik Rita dan harus belajar tadinya.
Aku mencoba memejamkan mataku, akupun terlelap ditidurku di malam itu, lelapan yang sangat panjang, membuat tidurku sangat nyenyak.
Subuh datang, pancaran matahari mulai bergerak lagi, aku bangun dan bersiap untuk ke sekolah, setelah semuanya beres, aku sejenak membantu Bik Rita menyiapkan sarapan untuk anak panti, Bik Rita adalah teman dari Bu Mela Pemilik Panti, dan Bik Rita berniat membantu di Panti supaya Bu Mela tidak kerepotan. Setelah semuanya selesai, aku berangkat ke sekolah.
Ini hari pertama dimana aku masuk sekolah bukan seperti Sita yang dulu lagi, bukan sebagai Sita yang hidup mewah….bukan Sita yang hidupnya bagai seorang Putri.
Tapi sekarang aku hanya Sita yang hanya anak Yatim Piatu yang tinggal di Panti Asuhan
Namun sekarang aku harus bisa merubah semuanya….Semua pasti ada hikmahnya.Dibalik cobaan pasti ada nikmat.
Kata-kata itu mengingatkanku pada Ibu yang dulu sering menasehatiku
Kakikupun kulangkahkan dan pergi kesekolah dengan angkot yang lewat di depan panti. Sesampai di sekolah, aku langsung menuju kelasku, teman-teman disekolah menatapku seolah-olah mereka iba padaku. Namun aku mencoba tersenyum seperti tak terjadi apa-apa.
Aku duduk di kursiku dan membuka buku pelajaran, Refi, Fani dan Rian mendekatiku, mereka adalah teman baikku.
“Ta, apa kamu baik-baik saja?” tanya Fani padaku.
“Hmmm....! ya..hari ini hari yang cerah bukan....”
Jawabku sambil tersenyum walau hatiku sedikit gundah.
Mereka hanya tersenyum, sudah ada makna tersirat disenyuman mereka padaku.
Bel berbunyi…pelajaran dimulai sampai jam istirahat dan bel pulang.
Tak seperti biasanya, dulu pulang sekolah aku pergi main bersama teman-teman, tapi untuk sekarang aku langsung pulang ke Panti.
Di Panti aku mencoba untuk tidak membuang-buang waktuku, pulang skeolah, aku istirahat sejenak sambil belajar, setelah itu, sorenya aku membantu Bik Rita di dapur dan setelah makan malam aku belajar lagi.
Sepertinya waktuku hanya habis untuk belajar. setiap hari ku jalani seperti itu, dan hasilnyapun kudapat, aku bisa meraih peringkat pertama di kelas dan aku sangat bahagia karena aku bisa mendapatkan beasiswa yang artinya aku bisa bersekolah tanpa merepotkan Pengurus Panti.
Untuk mempertahankan itu, aku harus lebih rajin lagi belajar, setiap hari hanya ku habiskan untuk belajar sampai-sampai kesehatanku tak terkontrol lagi.
Suatu saat di sekolah, pada saat jam istirahat aku menuju sebuah taman untuk membaca buka. Namun tiba-tiba aku jatuh dan semuanya gelap dalam sekejap
Tak lama setelah itu aku membuka kedua kelapak mataku, aku sudah berada di ruangan yang serba putih.
Aku melihat ketiga sahabatku ada disampingku dan seorang dokter. Aku segera bangun, beranjak dari tempat tidur, namun mereka melarangku.
Tak lama kemudian, Bu Mela dan Bik Rita datang dengan wajah yang sedih, mereka sepertinya khawatir dengan keadaanku.
“Iki piye, ono opo Neng?” Tanya Bu Mela.
“Apa erek, po opo..kan?” diteruskan lagi oleh Buk Rita.
“Aku baik-baik saja Bik, cuma pusing saja”
Kemudian Dokter memanggil Bik Rita dan Bu Mela, mereka keluar dan aku ditinggal dengan teman-temanku.
Setelah dua hari di Rumah Sakit aku kembali ke Panti dan besoknya aku mulai bersekolah seperti biasa
Sehari setelah itu, Panti kedatangan tamu yaitu sepasang suami istri yang sepertinya sudah lama menikah, mereka memasuki ruangan Ibu Mela dan Aku mengambilkan teh untuk mereka. Akupun masuk ke ruangan Bu Mela dan meletakkan tiga cankir teh, tak sengaja aku menatap mata Ibu yang datang itu, aku terdiam dan tersenyum padanya, kemudian aku pamit keluar, tapi....
“Tunggu nak...nama kamu siapa?”
“Hmmm, saya Sita Buk.”
“Sita, nama yang cantik”
“Makasih Bu, saya permisi keluar”
“Hmmm...ya”
Setelah lama berbincang-bincang merekapun keluar dari panti
Kemudian aku dipanggil oleh Ibu Panti dan duduk.
“Ta, kamu lihat Bapak dan Ibu tadi bukan?”
“Iya bu, ada apa?”
“Mereka ingin mengadopsimu, Ibu sudah ceritakan semua tentangmu, dan mereka mau kamu jadi anak mereka, kamu mau Ta?”
“Hmm..maaf Bu, Ta tidak bisa memutuskan itu sekarang, Ta butuh waktu”
“Iya...iya..., kamu pikirkan dulu lah”
Akupun pamit keluar dan memikirkan apa kata Bu Mela.
Besoknya sebelum pergi ke sekolah aku menemui Ibu Panti untuk mengatakan keputusanku.
“Ibu...maaf, apa Ta menganggu?
“Tidak Ta...ada apa?
“Hmmm, anu Bu, soal yang kemaren, Ta akan coba bu, Ta mau..”
“Ya syukurlah. Pagi ini rencananya mereka akan datang kesini, jadi nanti setelah pulang sekolah kamu langsung pulang ya Ta?”
“Iya Bu”
Aku pamit dan pergi ke sekolah, lalu pulangnya Aku langsung ke Panti, sesampai di Panti aku bertemu dengan pasangan itu lagi, lalu mereka mengajakku untuk membereskan barang-barangku dan pindah ke rumah mereka.
Setelah selesai beres-beres aku pamit pada Bu Mela dan juga Bik Rita.
Aku pergi bersama mereka
Sesampai di rumah mereka aku melihat sekelilingku, rumahnya besar dan tamannya sangat luas, banyak bunga-bunga yang indah.
Aku dibawa masuk dan diberi kamar yang sangat besar, lebih besar dari kamar di rumahku dulu.
Setiap hari, hari-hariku sangat bahagia, mereka sangat baik padaku. Namun keasyikan akan belajar tetap kujalani dan aku juga sering pingsan dan masuk rumah sakit.
Sepertinya mereka tahu apa yang terjadi padaku namun sepertinya mereka merahasiakannya.
Suatu saat aku mencoba menanyakan hal itu pada mereka dan mereka memberitahukan dengan rasa berat hati.
Ternyata aku menderita gagal ginjal, namun belum terlalu parah, saat mendengar itu darahku.
Seolah-olah mendesir cepat dan detak jantungnya sangat kuat. Aku seolah tak percaya apa yang terjadi padaku. Namun mereka tetap menasehatiku dan memintaku. Untuk mau cuci darah untuk menyembuhkan penyakitku.
Akhirnya, aku menyalani cuci darah satu kali dalam sebulan, dan akupun setiap malam berdoa semoga penyakitku sembuh.
Setelah enam bulan berlalu, akupun dinyatakan sembuh. Aku sangat bahagia, orang yang telah merawatnya yang sekarang kupanggil Ayah, kupanggil Ibu sangat senang mendengarnya.
Karena berkat Tuhan, kasih sayang Ayah dan Ibu dan kepantang menyerahanku aku bisa sembuh, hari ini adalah hari yang sangat membahagiakan untukkku, orangtuaku, teman-temanku dan juga mungkin keluargaku yang sudah berada di surga.
Dua hari kemudian.....
aku mendapat telepon dari Panti Asuhan Bik Rita. Bik Rita mengatakan bahwa orang yang mengaku-ngaku adiknya Ayah, ternyata bukan adik Ayah. Mereka adalah penipu yang dulu pernah dendam sama ayah.
Aku disuruh kembali ke rumah, namun jika aku kembali bagaimana dengan Ayah dan Ibu Angkatku? Aku sudah sangat sayang sama mereka dan aku memutuskan untuk tetap tinggal bersama mereka, dan rumahku dijadikan tempat tinggal untuk anak-anak Panti dan akan diurus oleh Bik Rita dan Bu Mela.
Kebahagiaan yang kuraih sangat luar biasa. Aku tidak menyangka semua akan kembali lagi. Oh Tuhan terima kasih atas semua kebahagiaan yang telah Engkau berikan padaku. Nikmatmu sangat luar biasa.

2 komentar:

  1. wew... crita'a mnghrukan ya..
    tp akhir'a bkin bhgia.. hehehe jd lega... :)

    BalasHapus